Selasa, 01 April 2008

Doktrin Intervensi Kemanusiaan dalam Hukum Internasional

I Latar Belakang

Dalam khazanah hukum internasional, doktrin intervensi kemanusiaan (Humanitarian Intervention) telah menimbulkan perdebatan yang hangat. Perdebatan timbul karena doktrin tersebut berhadapan langsung dengan prinsip-prinsip umum dalam hukum international; Prinsip kedaulatan negara dan Prinsip non-intervensi.[1]
Piagam PBB telah mengatur prinsip kedaulatan negara dan non-intervensi dalam Pasal 2 (1) yang berbunyi :
“The organization is based on the principle of the sovereign equality of all the members.”

Pasal 2 (4) :
“All members shall refrain in their international relation from the threat or use of force against the teritorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the purpose of the United Nations.”

Pasal 2 (7) :
“Nothing contained in the present charter shall autorize the United Nations to intervene in matters which essentially within the domestic jurisdiction of any state or shall require the Members to submit such matters to settlement under the present charter, but the principle shall not prejudice the application of enforcement measures under chapter VII.”

Ketentuan piagam tersebut dengan jelas menyatakan bahwa dalam hubungan antarnegara tidak diperbolehkan adanya intervensi. Pengaturan tersebut semakin dikuatkan dengan resolusi majelis umum PBB no 2625 (XXV) yang dikeluarkan tanggal 24 Oktober 1970, yang kemudian diterima sebagai Deklarasi Majelis Umum Tentang Prinsip-Prinsip Hukum International Mengenai Hubungan Persahabatan dan Kerjasama Antarnegara yang Berkaitan dengan Piagam PBB.[2]
Namun, dalam praktek negara-negara dewasa ini, prinsip-prinsip tersebut kerap “dilanggar” dengan alasan-alasan kemanusiaan. Intervensi kemanusiaan di Irak tahun 1991, Somalia tahun 1992 dan Kosovo tahun 1999 dapat dijadikan bukti bahwa doktrin tersebut telah dilakukan oleh negara-negara dalam hubungan internasionalnya.
Tindakan negara-negara dalam melakukan intervensi kemanusiaan sering didasari bahwa telah terjadi tragedi kemanusiaan yang luar biasa sehingga dapat mengancam kedamaian dan keamanan internasional yang merupakan tujuan dibentuknya PBB.[3] Atas dasar itulah mengapa beberapa negara mengartikan bahwa intervensi yang mereka lakukan tidak melanggar ketentuan dalam hukum internasional.
Perkembangan dalam hukum internasional juga telah mengindikasikan bahwa hak asasi manusia merupakan salah satu isu penting dan universal sehingga perlindungan terhadap hak-hak tersebut harus diutamakan dalam hubungan antarnegara. Indikasinya dapat terlihat dengan lahirnya Universal Declaration of Human Rights (1948) serta International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) 1966. Pada awal penerimaan dan pemberlakuan hak asasi manusia, tiap-tiap negara memiliki perbedaan yang mendasar. Perbedaan yang cukup besar adalah mengenai universalitas hak asasi manusia itu sendiri. Namun, dalam Deklarasi Wina tahun 1993, tiap-tiap negara telah berkomitmen bahwa setiap hak asasi manusia itu bersifat universal (universal), tidak dapat dipisahkan (indivisible), saling ketergantungan (interdependence), saling terkait (interrelated).[4]
Komitmen masyarakat internasional atas perlindungan HAM dewasa ini dapat dikatakan sudah melampaui batas teritorial (wilayah). Argumen tersebut menjadi lumrah jika melihat sejarah perdaban manusia dan hubungan antarnegara. Tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh negara terhadap penduduknya telah memberikan pelajaran berharga, bahwa kewenangan negara atas penduduknya harus dibatasi. Pembatasan tersebut tidak dilahat sebagai pemangkasan kedaulatan negara, namun sebuah tindakan pencegahan agar negara tidak dapat bertindak sesuka hatinya. Kelanjutan pembatasan kewenangan itu di lain pihak akan menumbuhkan kesadaran dalam masyarakat internasional untuk meningkatkan kerjasamanya dalam hal perlindungan dan penghormatan atas nama kemanusiaan.
Dengan asumsi tersebut di atas, maka penerapan doktrin intervensi kemanusiaan dalam hukum internasional publik menjadi sangat penting. Apalagi jika dilihat bahwa peristiwa-peristiwa di dunia saat ini cukup banyak memperlihatkan bahwa pelanggaran atas hak asasi manusia dalam yurisdiksi domestik negara kerap terjadi. Pembatasan kebebebasan hak sipil dan politik yang terjadi di Myanmar, tragedi kemanusiaan di Sudan dan konflik yang terjadi di Timor-Timur dapat dijadikan bukti bahwa dunia ini sangat rentan akan terpenuhinya keamanan dan kedamaian. Oleh karena itu, peran negara juga organisasi internasional menjadi sangat penting dalam pencampaian tujuan-tujuan global tersebut.

II. Permasalahan
Dengan pembahasan dalam latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan diangkat oleh penulis dalam tulisan ini adalah:
Apakah ada pengaturan intervensi kemanusiaan dalam hukum internasional?
Apakah intervensi kemanusiaan bertentangan dengan prinsip hukum internasional?


PEMBAHASAN

A. Pengertian Intervensi dan Intervensi Kemanusiaan

Untuk mengawali pembahasan tentang intervensi kemanusiaan, maka penulis akan coba untuk melacak beberapa pengertian tentang intervensi dan intervensi kemanusiaan. Dalam Black’s Law Dictionary, intervensi diartikan sebagai turut campurnya sebuah negara dalam urusan dalam negeri negara lain atau dalam urusan dengan negara lain dengan menggunakan kekuatan atau ancaman kekuatan sedangkan intervensi kemanusiaan diartikan sebagai intervensi yang dilakukan oleh komunitas internasional untuk mengurangi pelanggaran hak asasi manusia dalam sebuah negara, walaupun tindakan tersebut melanggar kedaulatan negara tersebut.[5]
Parry dan Grant memberikan definisi yang sedikit berbeda, menurut mereka intervensi adalah turut campur secara diktator oleh sebuah negara dalam hubungannya dengan negara lain dengan tujuan untuk menjaga atau mengubah kondisi aktual tertentu. Turut campur tersebut dapat dilakukan dengan hak ataupun tidak, namun hal tersebut selalu mengenai kebebasan eksternal atau wilayah atau keunggulan negara lain, dan dari keseluruhan tersebut memiliki dampak yang penting untuk negara tersebut dalam posisi internasional. Sedangkan Intervensi kemanusiaan mereka artikan sebagai perlakuan sewenang-wenang sebuah negara terhadap penduduknya, terutama minoritas, lebih tepatnya kekejaman dan kejahatan yang mengagetkan kesadaran umat manusia. Kemudian, negara lain, yang biasannya negara adikuasa, mengambil tindakan atas peristiwa tersebut dengan ancaman atau penggunaan kekuatan dengan maksud untuk melindungi minoritas yang tertindas.[6]
Lauterpach mengartikan intervensi sebagai campur tangan secara diktator oleh suatu negara terhadap urusan dalam negeri lainnya dengan maksud baik untuk memelihara atau mengubah keadaan, situasi atau barang di negeri tersebut.[7]
Intervensi dapat menggunakan kekerasan ataupun tidak. Hal tersebut biasa dilakukan oleh negara adikuasa terhadap negara lemah. Tindakan tersebut dapat merupakan embargo senjata, ekonomi ataupun keuangan. Peristiwa tersebut dapat dilihat dalam kasus Nikaragua melawan Amerika.[8]
Menurut Starke ada tiga tipologi dalam melihat sebuah intervensi negara terhadap negara lain:
1) Intervensi Internal : Intervensi yang dilakukan sebuah negara dalam urusan dalam negeri negara lain.
2) Intervensi Eksternal : Intervensi yang dilakukan sebuah negara dalam urusan luar negeri sebuah negara dengan negara lain. Contoh : Pelibatan Italia mendukung Jerman dalam Perang Dunia Kedua.
3) Intervensi Punitive : Intervensi sebuah negara terhadap negara lain sebagai balasan atas kerugian yang diderita oleh negara tersebut.[9]
Dengan pembagian tipologi intervensi tersebut, Starke tidak hendak mengatakan bahwa intervensi negara atas kedaulatan negara lain sebagai tindakan legal. Ia berpendapat bahwa terdapat kasus-kasus tertentu dimana tindakan intervensi dapat dibenarkan menurut hukum internasional. Adapaun tindakan intervensi tersebut adalah:
1) Intervensi kolektif yang ditentukan dalam piagam PBB.
2) Untuk melindungi hak dan kepentingan, serta keselamatan warga negaranya di negara lain.
3) Pembelaan diri. Jika intervensi dibutuhkan segera setelah adanya sebuah serangan bersenjata (armed attack). Syarat-syarat pembelaan diri adalah : langsung (instant), situasi yang mendukung (overwhelming situation), tidak ada cara lain (leaving no means), tidak ada waktu untuk menimbang ( no moment of deliberation). Syarat-syarat ini diadopsi dari kasus Caroline.
4) Berhubungan dengan negara protektorat atas dominionnya.
5) Jika negara yang akan diintervensi dianggap telah melakukan pelanggaran berat atas hukum internasional.[10].
Jika mengikuti klasifikasi legalitas yang dipergunakan oleh Starke, maka doktrin intervensi tidak sepenuhnya terlarang. Ada celah yang diberikan dalam mekanisme hukum internasional dalam melegalisasi sebuah intervensi.
Dalam klasifikasi yang dibuat oleh Starke, intervensi kemanusiaan dapat dimasukkan dalam klasifikasi yang terakhir. Apabila sebuah negara telah melanggar hak asasi manusia ( sistematis dan terstruktur), maka negara tersebut dapat dikategorikan telah melakukan pelanggaran berat terhadap hukum internasional. Perlindungan hak asasi manusia dalam relasi antarnegara saat ini merupakan sebuah komitmen bersama.
Sedangkan menurut Teson, ada beberapa hal yang dianggap lazim dalam kebiasaan internasional mengenai intervensi kemanusiaan. Pertama; penggunaan kekuatan bersenjata suatu negara terhadap urusan domestik negara lain. Kedua; ada alasan kemanusian yang digunakan sebagai justifikasi penggunaan kekuatan bersenjata.[11]
Dari pengertian tersebut di atas kiranya dapat ditarik beberapa kesamaan bahwa intervensi biasanya melanggar kedaulatan negara tertentu, selain itu tindakan intervensi biasanya menggunakan ancaman atau kekuatan. Sedangkan dalam definisi intervensi kemanusiaan kemudian ditambahkan alasan bahwa tindakan tersebut dilakukan karena adanya sebuah perlakuan kejahatan negara atas penduduknya.

B. Prinsip Non-Intervensi
Prinsip non-intervensi sebagai salah satu fondasi dasar dalam hukum internasional. berkaitan erat dengan prinsip kedaulatan negara. Kelahiran kedaulatan negara berkaitan dengan lahirnya pejanjian Westhpalia 1648 yang meletakkan dasar-dasar masyarakat internasional modern yang didasarkan atas negara-negara nasional.[12] Negara nasional (nation-state) pasca Westhpalia memiliki kedaulatan penuh karena didasari oleh paham kemerdekaan dan persamaan derajat sesama negara. Artinya bahwa negara berdaulat; bebas dari negara lainnya dan juga sama derajatnya dengan yang lain.[13]
Prinsip non-intervensi merupakan kewajiban setiap negara berdaulat untuk tidak melakukan tindakan mencampuri urusan dalam negeri negara lain dalam relasi antarnegara. Prinsip ini tidak jarang telah dilanggar dalam praktek-praktek negara. Dalam kasus Corfu Channel , ICJ meneguhkan
prinsip non-intervensi dengan mengatakan, “ Between independent states, respect for territorial sovereignty is an essential foundation of international relations. ”[14]
Piagam PBB mencantumkan prinsip non-intervensi dalam pasal 2 (7). Pasal tersebut menyatakan bahwa pelarangan terhadap PBB untuk intervensi sesuatu yang berada dalam yurisdiksi domestik suatu negara. Redaksi dalam pasal tersebut merupakan sebuah revisi dari Pasal 15 (8) Konvenan Liga Bangsa-Bangsa. Bunyi pasal tersebut adalah;
“If disputes between the parties is claimed by one of them, and is found by the council, to arise out of a matter which by international law is solely within domestic jurisdiction of that party, the council shall so report, and shall make no recommendations as to its settlement.”

Jika diperbandingkan antara kedua pasal tersebut, maka penggunaan istilah yurisdiksi domestik tetap dipertahankan. Pengertian yurisdiksi domestik pun kemudian menjadi bahan perdebatan dalam Konfrensi San Fransisco. Sebagian pihak menilai (Australia), bahwa ketentuan yang tercantum dalam pasal 2 (7) sangat jauh dari keinginan para peserta konfrensi. Komentar tersebut dikemukakan karena dengan ketentuan tersebut telah membatasi kewenangan PBB sebagai penjaga keamanan dan perdamaian. Namun, pada akhirnya konfrensi tetap memberikan peluang terbatas, dengan menambahkan redaksi terakhir dalam pasal 2 (7), bahwa prinsip non-intervensi PBB atas yurisdiksi domestik tidak meniadakan penggunaan kekuatan memaksa yang diatur dalam Bab VII.[15]
D’Amato juga mengkritisi pengertian yurisdiksi domestik tersebut, menurut ia bahwa yurisdiksi domestik sudah tidak sejalan lagi dengan perkembangan hukum internasional. Ia mencontohkan, bahwa apabila sebuah negara melakukan kekejaman (genosida, pelanggaran hak asasi manusia) terhadap penduduknya dalam yurisdiksi domestiknya, apakah dengan demikian hukum internasional tidak memiliki yurisdiksi atas peristiwa itu?.[16]
Dengan adanya Konvensi tentang Genosida, maka kemutlakan yurisdiksi domestik telah “tergerogoti”. Kejahatan genosida telah dianggap sebagai kejahatan terhadap hak asasi manusia yang bersifat ekstratetorial. Jadi, telah menjadi kewajiban setiap negara untuk melakukan tindakan atas nama kemanusiaan.
Relasi antara prinsip non-intervensi dan yurisdiksi domestik dalam Pasal 2 (7) sebenarnya dapat didamaikan dengan tidak melakukan pengabaian terhadap kewenangan PBB untuk penggunaan kekuatan memaksa yang diatur dalam Bab VII. Namun, dalam prakteknya, kekuatan dewan keamanan yang diatur dalam Bab VII cenderung kurang efektif karena adanya hak veto dari anggota tetap untuk membatalkan sebuah resolusi. Untuk mengurangi kebuntuan tersebut maka pada tanggal 3 November 1950 dikeluarkan sebuah resolusi majelis umum no 377 (V) tentang, “Uniting For Peace Resolution”. Resolusi tersebut dibuat untuk menghindari kebuntuan yang terjadi dalam dewan keamanan tentang penggunaan hak veto.[17]
Prinsip non-intervensi juga menentukan bahwa antarnegara tidak boleh melakukan intervensi. Hal ini didasari bahwa hubungan antarnegara didasari dari persamaan derajat dan bebas. Larangan untuk intervensi antarnegara diatur dalam Piagam PBB Pasal 2 (4). Pasal tersebut berbunyi :
“All members shall refrain in their international relation from the threat or use of force against the teritorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the purpose of the United Nations.”

Terdapat beberapa kata penting dalam bunyi pasal tersebut, yaitu ancaman atau penggunaan kekuatan (threat or use of force), kesatuan wilayah (teritorial intergrity), kebebasan politik (political independence), dan tidak selaras dengan tujuan PBB.
Redaksi kata yang kemudian menjadi multitafsir tersebut adalah apakah kriteria yang disebutkan dalam ketentuan pasal tersebut merupakan pembatasan atas non-intervensi? Apakah jika terjadi sebuah tindakan dari sebuah negara namun tidak memenuhi kriteria di atas, dapat dikatakan bahwa tindakan tersebut bukan merupakan sebuah intervensi? Untuk itu maka akan dilihat dalam praktek-praktek negara dan juga keputusan pengadilan mengenai ketentuan pasal tersebut.
Perumusan redaksi tersebut harus dibandingkan dengan pendahulunya, yaitu Pasal 10 Konvenan Liga Bangsa-Bangsa yang berbunyi:
“To respect and preserve as against external aggression the territorial integrity and existing political independence of all members of the league.”
Jika dibandingkan dengan bunyi konvenan di atas, maka terlihat ada beberapa penambahan dan pengurangan redaksional. Dalam bunyi pasal 2 (4), istilah agresi dihapuskan karena dalam konfrensi San Fransisco tidak didapati kesepahaman mengenai definisi agresi itu sendiri.[18] Bunyi pasal tersebut berubah menjadi, “against territorial integrity or political independence of any state”. Usulan penggantian kalimat tersebut merupakan respon terhadap suara-suara dari negara lemah untuk menjamin mereka terhadap penggunaan kekerasan bersenjata yang biasa dilakukan oleh negara adikuasa.[19] Tafsiran penggunaan kekuasaan (use of force) dalam konfrensi adalah penggunaan kekerasan fisik atau bersenjata (armed force).
Sedangkan penggunaan paksaan ekonomi atau psikologi tidak dapat dijadikan rujukan, namun penggunaan paksaan tersebut tetap dilarang dalam pasal 39.[20]
Jessup menyatakan bahwa pelarangan kekerasan bersenjata (use of force) yang dinyatakan dalam pasal 2 (4) tidaklah absolut, jika penggunaan kekerasan tersebut tidak mengancam kesatuan wilayah atau kebebasan politik dari suatu negara. Syarat tersebut dapat menghindari dari batasan yang digunakan dalam kalimat pertama pasal tersebut. Selanjutnya harus dapat dipastikan bahwa tindakan tersebut tidak melanggar tujuan dari PBB.[21] Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Higgins, kekerasan bersenjata (use of force) yang dilarang menurut hukum internasional adalah ketika ada keinginan negara untuk bermusuhan ditambah dengan aktivitis militer.[22] Menurut beliau setiap negara bisa menggunakan kekesarasan bersenjata (use of force) untuk menyelematkan aset nasionalnya dalam kerangka pertahanan diri (self defence) jika kerugian yang dihadapi tampak nyata (imminent), namun hal tersebut dapat dilakukan jika negara yang berdaulat tidak mampu melindungi kepentingan negara lain. Hal ini terpenuhi dalam kasus Entebee.[23]
Konsep penggunaan kekerasan bersenjata dapat dibenarkan menurut ketentuan hukum internasional. Namun, penggunaan tindakan tersebut harus dikaitkan dengan prinsip pembelaan diri (self defence) yang diatur dalam piagam PBB pasal 51. Pasal itu berbunyi :
“Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self defence if an armed attack occurs against a Member of the United Nations, until the Security Council has taken measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by Members in the exercise of this right of self-defence shall be immediately reported to the Security Council and shall not in any way affect the authority and responsibility of theSecurity Council under the present Charter to take at any time such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and security.”

Meskipun redaksional hak membela diri (self defence) tersurat dalam bunyi pasal tersebut, namun dalam travaux preparatoires dinyatakan bahwa hak tersebut merupakan sesuatu yang melekat (inherent). Pengaturan hak tersebut memiliki presedenya apabila dikaitkan dengan Kellog-Briand Pact 1928. Dalam perjanjian tersebut hak pembelaan tidak disebutkan secara tersurat, namun menurut Tuan Kellog, sekretaris negara Amerika Serikat, menyatakan bahwa hak membela diri merupakan sesuatu yang “inherent” atau melekat, sehingga penyebutannya dalam sebuah kata tidak lagi diperlukan.[24]
Hak membela diri yang diatur dalam pasal tersebut dapat dilakukan oleh negara dengan beberapa pembatasan. Pertama, hak tersebut dapat dilaksanakan jika telah terjadi sebuah serangan bersenjata (armed attack). Pemilihan kata “armed attack” dan tidak “forces” seperti tersurat dalam pasal 2 (4) merupakan sebuah kemajuan. Dengan menggunakan kata “armed attack” maka pengertiannya menjadi jelas dan tidak dapat ditafsirkan berbeda-beda. Kedua, setelah dewan keamanan mengambil tindakan yang perlu untuk memelihata perdamaian dan keamanan internasional. Persyaratan tersebut harus dipenuhi oleh setiap negara yang akan melaksanakan hak pembelaan dirinya.
Pelaksanaan hak membela diri apabila dikaitkan dengan pasal 2(4), maka akan terlihat bahwa negara dalam melaksanakan hak-nya tidak boleh menggunakan ancaman atau kekuatan yang mengganggu kesatuan wilayah dan kemerdekaan politik negara lain. Tindakan yang diambil pun tidak boleh bertentangan dengan tujuan PBB itu sendiri yakni, mencapai perdamain dan keamanan dunia. Bunyi pasal 51 memang tidak menyebutkan cara yang dapat dilakukan untuk melaksanakan hak membela diri. Pasal ini sering dikaitkan dengan hak untuk menggunakan kekerasan bersenjata secara terbatas. Higgins misalnya berpendapat bahwa piagam PBB telah memberikan izin terbatas atas penggunaan kekerasan bersenjata dalam kerangkan hak membela diri baik secara individual maupun kolektif. PBB juga mempertimbangkan bahwa tindakan itu dapat menjadi sebuah mekanisme untuk menuntut hak hukum serta mencapai keadilan sosial dan politik.[25]
Hak membela diri menggunakan kekuatan bersenjata (armed force) merupakan sebuah adopsi dari Kasus Kapal Caroline. Dalam kasus tersebut terkenal sebuah pernyataan yang dikatakan oleh Daniel Webster, seorang dari sekretariat Amerika Serikat. Beliau menyatakan keperluan sebuah pembelaan diri harus memenuhi kriteria; instant (cepat), overwhelming situation (mendukung), leaving no choices of means (tidak ada cara lain), no moment for deliberation (tidak ada waktu untuk menimbang).[26] Syarat-syarat tersebut yang harus dapat dipenuhi oleh sebuah atau sekelompok negara apabila ingin menegakkan hak-nya untuk melakukan pembelaan diri dengan cara menggunakan kekerasan bersenjata.
Beberapa sarjana hukum internasional dan juga praktek-praktek negara telah menafsirkan hak membela diri tersebut dengan meluaskan maknanya menjadi melindingi diri (self preservation). Bowett misalnya mengatakan bahwa pasal 51 diartikan untuk melindungi hak untuk membela diri bukan untuk membatasinya. Menurutnya tidak ada hubungan antara serangan bersenjata dengan hak membela diri. Tidak ada negara yang dapat menunggu hingga ada serangan bersenjata baru dapat membela diri.[27] Pendapat Bowett inilah kemudian yang memunculkan doktrin anticipatory self-defence atau yang sering dipraktekan oleh Amerika sebagai serangan pencegahan (pre-emptive strike) yang dilakukan terhadap Afganistan dan Irak.
Ada dua pandangan mengenai hak membela diri. Pertama, adalah Teori kumulatif, teori tersebut menyebutkan bahwa serangan yang dilakukan oleh gerilyawan di sekitar perbatasan dilihat sebagai sebuah keseluruhan. Jadi, tindakan penyerangan terhadap gerilyawan tersebut dapat dilakukan sebagai sebuah antisipasi terhadap kemungkinan serangan berikutnya yang akan dilakukan oleh gerilyawan tersebut. Serangan pencegahan dapat dijustifikasi dalam kerangka hak membela diri antisipatif. Tindakan tersebut harus didasarkan atas serangan yang terus-menerus serta keyakinan bahwa serangan tertentu akan tetap terus berlangsung[28]. Tindakan inilah yang sering dijalankan oleh Israel terhadap Palestina dan Libanon. Kedua, hak membela diri dilakukan apabila telah terjadi sebuah serangan bersenjata, pendapat ini sepaham dengan bunyi pasal 51. Henkin menyatakan bahwa dalam draft penyusunan pasal 51 tidak ditemukan bahwa penafsiran atas hak membela diri dapat dilakukan secara meluas. Bunyi pasal secara eksplisit menyatakan bahwa hak membela diri timbul ketika terjadi serangan bersenjata. Pasal tersebut tidak boleh diartikan bahwa negara dapat melakukan sebuah serangan lebih dahulu atas asumsi melakukan pembelaan diri.[29]
Konsep membela diri dalam ketentuan pasal 51 piagam PBB, dapat dilakukan baik secara individual maupun kolektif. Ketentuan tersebut mensyaratkan bahwa setiap tindakan bela diri yang dilakukan oleh negara (individu maupun kolektif) harus dilaporkan kepada dewan keamanan sebagai organ PBB yang memiliki otoritas untuk memulihkan perdamaian dan keamanan internasional. Kewajiban yang dimiliki oleh pihak yang melakukan tindakan bela diri tersebut dalam prakteknya sulit untuk dilakukan, karena yang biasa terjadi adalah setelah serangan pembelaan diri itu dilakukan, baru kemudian dilaporkan oleh para pihak.

C. Intervensi Kemanusiaan Menurut Hukum Internasional
Sebagian pendapat dari para pakar hukum internasional mengindikasikan bahwa doktrin intervensi kemanusiaan bertentangan dengan hukum internasional. Hal ini dikarenakan doktrin tersebut bertentangan dengan salah satu prinsip fundamental dalam hukum internasional yaitu prinsip non intervensi.
Prinsip non intervensi menurut sebagian pendapat ahli telah sampai pada tahap peremptory norm (jus cogens).[30] Ketika sebuah prinsip dalam hukum internasional telah mencapai derajat Jus Cogens, maka prinsip tersebut tidak dapat dikecualikan dalam keadaan apapun. Jus Cogens dalam hukum internasional pun masih menjadi perdebatan. Sulit untuk menentukan faktor apakah yang dapat menjadikan sebuah prinsip dalam hukum internasional menjadi sebuah Jus Cogens.
Menurut Schwarzerberger untuk membentuk jus cogens internasional, suatu aturan hukum internasional harus memiliki sifat-sifat yang universal atau asas-asas yang fundamental, misalnya asas-asas yang yang bersangkutan harus mempunyai arti yang luar biasa dalam hukum internasional di samping arti penting istimewa dibandingkan dengan asas-asas lainnya. Selain itu, asas-asas tersebut merupakan bagian esensial daripada sistem hukum internasional yang ada atau mempunyai karakteristik yang merupakan refleksi dari hukum internasional yang berlaku. Apabila sifat-sifat ini diterapkan, akan timbul tujuan asas fundamental dalam tubuh hukum internasional, yaitu: kedaulatan, pengakuan, pemufakatan, itikad baik, hak membela diri, tanggung jawab internasional dan kebebasan di laut lepas.[31]
Sedangkan menurut Vedross terdapat tiga ciri aturan atau prinsip yang dapat menjadi Jus Cogens hukum internasional yaitu:
1) Kepentingan bersama dalam masyarakat internasional.
2) Timbul untuk tujuan-tujuan kemanusiaan.
3) Sesuai atau selaras dengan piagam PBB.[32]
Kemungkinan sebuah prinsip menjadi jus cogens sangat mungkin dalam hukum internasional jika telah melewati tahapan yang diajukan oleh beberapa pendapat para ahli tersebut. Namun, dalam perkembangan hukum internasional, setiap ketentuan dan norma itu selalu berubah sesuai dengan ketentuan zaman, lalu bagaimana menentukan sebuah prinsip dapat dipertahankan sebagai sebuah norma yang tidak boleh dikecualikan dalam praktek-praktek negara menurut hukum internasional.
Shen menyandarkan pendapatnya bahwa prinsip non intervensi telah masuk dalam kategori jus cogens berdasarkan instrumen-instrumen hukum internasional dan keputusan mahkamah internasional.[33] Pasal 2(4) Piagam PBB menurut beliau merupakan dasar utama yang harus dirujuk ketika mengatakan bahwa prinsip non intervensi merupakan sebuah jus cogens. Ketentuan piagam tersebut kemudian didukung oleh deklarasi yang dibuat oleh majelis umum PBB tentang Declaration on the Inadmissibility of Intervention in the Domestic Affairs of States and the Protection of their Independence and Sovereignty ( G.A. Res. 2131/XX, 21 Desember 1965). Dalam paragraf pertama deklarasi tersebut disebutkan bahwa setiap negara tidak memiliki hak untuk melakukan intervensi, langsung maupun tidak langsung, untuk alasan apapun, di dalam urusan dalam dan luar negeri sebuah negara.
Deklarasi tersebut diteguhkan kembali oleh masyarakat internasional melalui deklarasi majelis umum PBB, yang dikenal dengan, Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Co-operation among States in accordance with the Charter of the United Nations (G.A. Res. 2625 (XXV), 24 Oktober. 1970). Deklarasi tersebut tidak hanya mengutuk sebuah tindakan intervensi, namun juga menyatakan bahwa tindakan intervensi merupakan sebuah pelanggaran terhadap hukum internasional, sehingga perihal intervensi akan masuk dalam sebuah tanggung jawab internasional.
Prinsip non intervensi kembali diteguhkan oleh mahkamah internasional (ICJ) dalam memutus perkara antara Nikaragua Vs Amerika Serikat. Mahkamah menyatakan bahwa:
“ The principle of non-intervention involves the right of every sovereign State to conduct its affairs without outside interference; though examples of trespass against this principle are not infrequent, the Court considers that it is part and parcel of customary international law. Between independent States, respect for territorial sovereignty is an essential foundation of international relations and international law requires political integrity also to be respected.... The existence in the opinio juris of States of the principle of non-intervention is backed by established and substantial practice. It has moreover been presented as a corollary of the principle of the sovereign equality of States...”

Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka prinsip non intervensi dapat dikategorikan sebagai jus cogens. Namun, tidak semua pakar hukum internasional sepakat bahwa prinsip non intervensi dapat dikategorikan sebagai sebuah jus cogens. Alasan mereka adalah bahwa prinsip non intervensi bukanlah sesuatu yang absolut. Masih dimungkinkan menurut hukum internasional untuk melakukan intervensi atas dasar kemanusiaan.
Intervensi kemanusiaan mendapatkan legitimasinya menurut para pendukungnya berdasarkan penafsiran atas pasal 2 (4) Piagam PBB.[34] Pasal 2 (4) bukanlah sebuah larangan yang absolut, melainkan sebuah batasan agar sebuah intervensi tidak melanggar kesatuan wilayah (territorial integrity), kebebasan politik (political independence) dan tidak bertentangan dengan tujuan PBB (in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations). Menurut hasil penelitian D’Amato, kesatuan wilayah dimaksudkan jika sebuah negara kehilangan wilayahnya secara permanen sedangkan dalam intervensi kemanusiaan pihak yang melakukan intervensi tidak mengambil wilayah negara secara permanen, tindakan tersebut hanya untuk memulihkan hak asasi manusia.[35]
Intervensi kemanusiaan tidak melanggar kebebasan politik sebuah negara. Tindakan tersebut hanya bertujuan untuk memulihkan hak asasi manusia pada suatu negara. Setiap negara dan penduduknya tetap memiliki kebebasan politik. Atas asumsi ini intervensi kemanusiaan tidak melanggar piagam PBB.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Teson, menurut beliau kekerasan bersenjata hanya dilarang oleh PBB jika melanggar;
(a) when it impairs the territorial integrity of the target state;
(b) when it affects its political independence; or
(c) when it is otherwise against the purposes of the United Nations.[36]
Intervensi kemanusiaan dapat dikatakan sah apabila tidak melanggar batasan yang ditentukan oleh ketentuan pasal 2(4). Legalitas intervensi kemanusiaan kemudian juga dihubungkan dengan tujuan PBB untuk menghormati hak asasi manusia (Pasal 1 (3) Piagam PBB). Menurut D’Amato, sejak tahun 1945 dan lahirnya konvensi tentang pelarangan genosida, deklarasi HAM universal, maka kewenangan negara untuk bertindak sewenang-wenang atas warganya telah dibatasi. Batas teritorial sudah tidak menjadi permasalahan dalam pelaksanaan dan perlindungan HAM.[37]
Kedaulatan negara yang biasanya menjadi alasan bahwa intervensi kemanusiaan tidak dapat dibenarkan berdasarkan hukum internasional secara kontekstual telah gagal. Pendapat ini diberikan oleh Hans Kelsen, menurut beliau, bahwa tujuan adanya hukum internasional adalah untuk membatasi kedaulatan negara itu sendiri.[38] Sejak individu menjadi subyek hukum internasional, maka sebenarnya kedaulatan negara itu diperoleh dari individu yang mendelegasikan kewenangannya kepada negara.[39] Jadi, ketika negara telah melanggar hak-hak individu, maka para individu tersebut dapat meminta bantuan kepada pihak lain (negara) untuk memulihkan hak-hak mereka. Pada saat itulah intervensi kemanusiaan menjadi eksis dan timbul kewajiban negara untuk melakukan kerjasama (bantuan) antara mereka untuk melindungi dan mempromosikan hak asasi manusia.
Praktek-praktek negara saat ini juga telah menimbulkan sebuah preseden, bahwa intervensi kemanusiaan dapat dianggap sebagai kebiasaan internasional. Intervensi kemanusiaan merupakan sebuah kewajiban tiap-tiap negara. Doktrin tersebut bukan merupakan hak seperti hak membela diri. Doktrin tersebut menjadi eksis ketika terjadi sebuah pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Intervensi tersebut dapat dilakukan baik secara individual maupun kolektif.
Masyarakat internasional telah bersepakat bahwa intervensi kemanusiaan hanya bisa dilakukan secara kolektif melalui otoritas dewan keamanan dengan membentuk kerjasama internasional. Hal ini didasarkan melalui piagam PBB bab VII, yang merupakan pasal tentang pengecualian penggunaan kekerasan bersenjata. Namun, yang masih menjadi perdebatan adalah intervensi kemanusiaan yang dilakukan secara unilateral atau kolektif tetapi tanpa adanya otoritas dari dewan keamanan.
Kritik yang sering disorot atas legitimisi penggunaan kekerasan atas nama intervensi kemanusiaan adalah seringnya tindakan tersebut disalahgunakan oleh negara kuat untuk menekan kebebasan dan kemerdekaan negara lemah. Shen menyatakan, intervensi kemanusiaan bukanlah sebuah persoalan hukum, doktrin tersebut merupakan permasalahan kepentingan (interest), kekuatan (power) dan dominasi (dominance).[40] Kritik itu dihadapi oleh pembela legitimasi intervensi kemanusiaan dengan sebuah analogi polisi dengan kantor polisi. Jika ada seorang polisi yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya, apakah kemudian untuk meminimalisir penyelewengan tersebut kita harus menutup semua kantor polisi?. jawabannya tentu tidak. Begitupun dengan intervensi kemanusiaan, tugas hukum internasional dan masyarakat internasional adalah bagaimana melindungi dan mempromosikan agar pelanggaran hak asasi manusia tidak terjadi, bukannya menghapus intervensi kemanusiaan.
Praktek negara dalam intervensi kemanusiaan dapat ditemukan pada pasukan koalisi Amerika Serikat, Inggris dan Perancis di Irak pada tahun 1991. Koalisi tersebut menyambut resolusi dewan keamanan 688 yang mengutuk tindakan pemerintahan Irak kepada suku Kurdi. Dalam resolusi tersebut dewan keamanan tidak menyebutkan sebuah tindakan bersenjata kolektif maupun intervensi menggunakan kekerasan senjata. Namun, beberapa bulan kemudian tiga negara tersebut melakukan operasi “Safe Hands” di Irak Utara dengan alasan kemanusiaan. Sekjen PBB, Perez de Cuellar, menyebutkan bahwa operasi tersebut dapat melanggar kedaulatan Irak, apabila tidak ada izin dari pemerintahan Irak atau otorisasi dari dewan keamanan. Namun, sekjen PBB juga mengungkapkan pentingnya tindakan atas dasar tujuan moral dan kemanusiaan. Untuk melegalisasi tindakan koalisi tersebut, akhirnya, Irak memberikan izinya kepada PBB untuk mengirim bantuan kemanusiaan di Irak Utara.
Kasus di atas dapat dijadikan contoh intervensi kemanusiaan. Seperti apa yang dikatakan pemerintah Inggris, bahwa intervensi yang dilakukan di Irak Utara memang pada kenyataannya tidak diberikan mandat oleh PBB. Namun, kami bertindak di Irak Utara berdasarkan prinsip intervensi kemanusiaan yang diatur dalam hukum kebiasaan internasional.[41]
Praktek intervensi kemanusiaan yang terjadi di Irak juga terjadi di Yugoslavia dan Somalia pada tahun 1992. Meskipun, dewan keamanan mempunyai legitimasi untuk menggunakan kekuatan bersenjata berdasarkan bab VII piagam PBB, namun yang terjadi adalah bahwa negara atau sekelompok negara melakukan sebuah intervensi dengan alasan kemanusiaan dan kemudian di legitimasi oleh resolusi dewan keamanan. Untuk menganalisa intervensi kemanusiaan tersebut, menurut Dinstein harus dilihat beberapa keadaan yang merupakan sebuah pengecualian; Pertama, kekuatan pasukan koalisi bertindak pada saat tindakan permusuhan telah diberhentikan sementara melalui gencatan senjata. Kedua, resolusi dewan keamanan mendasari putusannya bahwa tindakan yang terjadi merupakan sebuah ancaman terhadap keamanan dan perdamaian internasional.[42]
Tindakan yang dilakukan oleh pasukan koalisi sebenarnya harus didasarkan landasan yang kuat. Dengan adanya resolusi yang dikeluarkan oleh dewan keamanan, menandakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh pasukan koalisi merupakan sebuah pengecualian dari larangan penggunaan kekerasan bersenjata oleh negara secara unilateral maupun kelompok tanpa otorisasi dewan keamanan. Praktek negara telah membuktikan sekali lagi membuktikan bahwa intervensi kemudian merupakan sebuah pengecualian meskipun dalam piagam tidak ditemukan pengaturan secara tegas tentang intervensi kemanusiaan.
Intervensi kemanusiaan memang tidak mendapatkan pengaturan yang eksplisit dalam piagam PBB. Namun, ketentuan pelarangan penggunaan kekuatan bersenjata yang diatur dalam piagam PBB pun masih dapat ditafsirkan berbeda, apakah ia merupakan sebuah pelarangan yang absolut atas penggunaan kekuatan bersenjata atau batasan dalam penggunaan kekerasan bersenjata.
Putusan mahkamah juga tidak ada yang melegitimasi sebuah intervensi kemanusiaan. Keputusan ICJ dalam kasus Nikaragua versus Amerika, membatalkan alasan Amerika yang mendasari bahwa kekuatan bersenjata yang ia lakukan merupakan sebuah tindakan legal atas dasar perlindungan terhadap hak asasi manusia.[43]
Namun, putusan ICJ tersebut tidak ditafsirkan bahwa intervensi kemanusiaan bertentangan dengan hukum internasional. ICJ menolak alasan yang digunakan Amerika karena sangat tidak masuk akal. Menurut ICJ penggunaan kekerasan bersenjata yang digunakan dengan alasan kemanusiaan harus sesuai dengan peruntukkannya sedangkan apa yang dilakukan Amerika adalah meledakkan dermaga, instalasi minyak yang tidak memiliki korelasi dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Alasan itulah yang digunakan untuk menolak argumen Amerika, ICJ tidak menyatakan secara eksplisit bahwa intervensi kemanusiaan bertentangan dengan hukum internasional.




SIMPULAN

Berdasarkan permasalahan yang diungkapkan dalam Bab I serta pembahasan masalah dalam Bab II, maka penulis dalam penulisan makalah ini mengambil beberapa simpulan sebagai berikut :
Instrumen hukum internasional menyebutkan secara eksplisit bahwa prinsip non intervensi merupakan salah satu prinsip fundamental dalam hukum internasional. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 1 (1), 2 (4), (7) Piagam PBB. Selain itu Deklarasi yang dikeluarkan oleh majelis umum PBB ( Declaration On The Inadmissibility of Intervention In The Domestic Affairs of State (G.A.R. 2131/ XX, 21 Desember 1965) dan Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Co-operation among States in accordance with the Charter of the United Nations (G.A. Res. 2625/ XXV, 24 Oktober 1970), meneguhkan kembali bahwa prinsip non intervensi merupakan sebuah prinsip fundamental dalam hukum internasional. Putusan ICJ atas kasus Nikaragua versus Amerika, kembali meneguhkan prinsip tersebut sebagai salah satu prinsip dasar hukum internasional. Namun, status prinsip non intervensi sebagai jus cogens masih diperdebatkan oleh beberapa pakar hukum internasional.
Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam ketentuan hukum internasional, intervensi kemanusiaan mendapatkan legitimasinya berdasarkan penafsiran Piagam PBB, Pasal 1 (3) dan Pasal 2 (4). Prinsip intervensi kemanusiaan juga dapat dilihat dari praktek-praktek negara dan kebiasaan hukum internasional kontemporer.
Sedangkan pengaturan secara eksplisit dalam hukum internasional mengenai intervensi kemanusiaan tidak dapat penulis temukan.
Intervensi kemanusiaan tidak melanggar hukum internasional. Doktrin tersebut merupakan pengecualian dari prinsip non intervensi. Masyarakat internasional sudah mencapai sepakat mengenai bahwa tindakan intervensi kemanusiaan yang paling utama adalah intervensi kemanusiaan kolektif dan mendapat otorisasi dari dewan keamanan. Namun, yang mengenai intervensi kemanusiaan secara unilateral harus dibuat aturannya oleh masyarakat internasional. Intervensi kemanusiaan tidak melanggar hukum internasional karena sesuai dengan tujuan PBB (Pasal 1 ayat 3).
Intervensi kemanusiaan harus benar-benar didasarkan atas alasan-alasan kemanusiaan. Meskipun alasan tersebut sering disalahgunakan oleh negara adikuasa terhadap negara terbelakang, namun hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan bahwa intervensi kemanusiaan melanggar hukum internasional.


DAFTAR PUSTAKA

Brierly, J.L., The Law of Nations, Clarendon Press, Great Britain, 1955.
Dinstein, Yoram, War, Aggression and Self-Defence, Second Edition, Cambridge University Press, Australia, 1994.
D’Amato, Anthony, “Domestic Jurisdiction”, Encyclopedia of Public International Law, Elsevier, North-Holland, Amsterdam, 1992.
Garner, A. Bryan. ed., Black’s Law Dictionary , Seventh Edition, Book 1, West Group, ST. Paul, Minn, 1999.
5. Goodrich and Hambro, Charter of The United Nations Commentary and Documents , World Peace Foundation Boston, 1949.
6. Harris, D.J., Cases and Materials on International Law, Fifth Edition, Sweet & Maxwell, London, 1998..
Higgins, Rosalyn, Problem and Process International Law and How We use it, Oxford University Press, England 1994.
8. Huala Adolf, Aspek-Aspek negara dalam hukum internasional, cet ketiga, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002.
9. Jessup, C. Philip, A Modern Law of Nation –An Introduction-, The MacMillan Company, New York, 1951.
Kelsen, Hans, General Theory of Law and State (alih bahasa oleh Somardi), Bee Media, Jakarta, 2007.
11. Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional (Buku I), Cet II, Binacipta, Bandung, 1977.
12. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003.
13. Parry and Grant, Encyclopaedic Dictionary of International Law, Oceana Publication, Inc., Newyork, 1986..
14. Starke, J.G., An Introduction To International Law, 3rd Edition, Butterworth & Co. Ltd, London, 1954.
15. Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Imunitas Kedaulatan Negara di Forum Pengadilan Asing, Alumi, Bandung, 1999.
-------------, Hukum Internasional (Bunga Rampai), P.T. Alumni, Bandung, 2003.

[1] Declaration On The Inadmissibility of Intervention In The Domestic Affairs of State, 1965 (G.A.R. 2131 /XX)
[2] Declaration On Principles Of International Law 1970. (G.A.R. 2625/ XXV)
[3] Piagam PBB., Pasal 1 ayat 1.
[4] Deklarasi Wina, 1993, Pasal 5.
[5] Bryan A. Garner ed., Black’s Law Dictionary , Seventh Edition, Book 1, West Group, ST. Paul, Minn, 1999, hlm. 826.
[6] Parry and Grant, Encyclopaedic Dictionary of International Law, Oceana Publication, Inc., Newyork, 1986, hlm. 190-191.
[7] Huala Adolf, Aspek-Aspek negara dalam hukum internasional, cet ketiga, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 31.
[8] Philip C. Jessup, A Modern Law of Nation –An Introduction-, The MacMillan Company, New York, 1951, hlm. 172-173.
[9] J.G. Starke, An Introduction To International Law, 3rd Edition, Butterworth & Co. Ltd, London, 1954, hlm. 89-90.
[10] Ibid., hlm. 90.
[11] Eric Adjei, The Legalitiy of Humanitarian Intervention, Tesis, University of Georgia, 2005, hlm. 8.
[12] Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Imunitas Kedaulatan Negara di Forum Pengadilan Asing, Alumi, Bandung, 1999, hlm. 27.
[13] Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003, hlm.19.
[14] D.J. Harris, Cases and Materials on International Law, Fifth Edition, Sweet & Maxwell, London, 1998, hlm 876.
[15] Goodrich dan Hambro, Charter of The United Nations Commentary and Documents, World Peace Foundation Boston, 1949, hlm. 110-121.
[16] Antony D’Amato, “Domestic Jurisdiction”, Encyclopedia of Public International Law, 1992, hlm.1090-1096.
[17] D.J. Harris, op.cit., hlm. 968-969.
[18] Goodrich dan Hambro, op.cit., hlm.103.
[19] Ibid.
[20] Ibid., hlm. 104.
[21] Philip C. Jessup, op.cit., hlm. 162.
[22] Rosalyn Higgins, Problem and Process International Law and How We use it, Oxford University Press, England 1994, hlm. 246.
[23] Ibid.
[24] Goodrich and Hambro, op.cit., hlm.299.
[25] Rosalyn Higgins, op.cit., hlm. 238.
[26] J.L. Brierly, The Law of Nations, Clarendon Press, Great Britain, 1955, hlm. 316.
[27] D.J. Harris, op.cit., hlm. 897.
[28] Ibid., hlm. 898.
[29] Ibid., hlm. 897.
[30] Jianming Shen, The Non Intervention Principle and Humanitarian Intervention under International Law, International Legal Theory, 2001. hlm.1.
[31] Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Hukum Internasional (Bunga Rampai), P.T. Alumni, Bandung, 2003, hlm. 171.
[32] Ibid., hlm. 176.
[33] Jianming Shen, Ibid., hlm. 3-4.
[34] Yoram Dinstein, War, Aggression and Self-Defence, Second Edition, Cambridge University Press, Australia, 1994, hlm. 89.
[35] Anthony D’Amato, There is no Norm of Intervention or Non Intervention in International Law, International Legal Theory, ASIL, 2001, hlm.20.
[36] Eric Adjei, Ibid., hlm.29.
[37] Anthony D’Amato, Ibid., hlm.21.
[38] Ibid., hlm.20.
[39] Hans Kelsen, General Theory of Law and State (alih bahasa oleh Somardi), Bee Media, Jakarta, 2007, hlm.414-415
[40] Jianming Shen, Ibid., hlm.9.
[41] Eric Adjei, Ibid., hlm. 58.
[42] Yoram Dinstein, Ibid., hlm. 91.
[43] Jianming Shen, Ibid., hlm.12.